Pages

Jumat, 06 Maret 2020

Permasalahan Sumber Daya Alam

A. Sumber Daya Alam



Berbagai permasalahan muncul dan memicu terjadinya kerusakan sumber daya alam dan lingkungan hidup sehingga dikhawatirkan akan berdampak besar bagi kehidupan makhluk di bumi, terutama manusia yang populasinya semakin besar. Beberapa permasalahan pokok dapat digambarkan berikut ini.
Terus menurunnya kondisi hutan Indonesia. Hutan merupakan salah satu sumber daya yang penting, tidak hanya dalam menunjang perekonomian nasional tetapi juga dalam menjaga daya dukung lingkungan terhadap keseimbangan ekosistem dunia. Indonesia merupakan negara dengan luas hutan terbesar dibanding dengan negara ASEAN lainnya. Namun, bersama Filipina, Indonesia memiliki laju deforestasi tertinggi. Laju deforestasi yang pada periode 1985-1997 adalah 1,6 juta hektar per tahun meningkat menjadi 2,1 juta hektar per tahun pada periode 1997-2001. Salah satu akibatnya jumlah satwa Indonesia yang terancam punah tertinggi dibandingkan negara ASEAN lainnya.
Kerusakan DAS (Daerah Aliran Sungai). Praktik penebangan liar dan konversi lahan menimbulkan dampak yang luas, yaitu kerusakan ekosistem dalam tatanan DAS. Akibatnya, DAS berkondisi kritis meningkat dari yang semula 22 DAS pada tahun 1984 menjadi berturut-turut sebesar 39 dan 62 DAS pada tahun 1992 dan 1998. Pada saat ini diperkirakan sekitar 282 DAS dalam kondisi kritis. Kerusakan DAS tersebut juga dipacu oleh pengelolaan DAS yang kurang terkoordinasi antara hulu dan hilir serta kelembagaan yang masih lemah. Hal ini akan mengancam keseimbangan ekosistem secara luas, khususnya cadangan dan pasokan air yang sangat dibutuhkan untuk irigasi, pertanian, industri, dan konsumsi rumah tangga.

Habitat ekosistem pesisir dan laut semakin rusak. Kerusakan habitat ekosistem di wilayah pesisir dan laut semakin meningkat, khususnya di wilayah padat kegiatan seperti pantai utara Pulau Jawa dan pantai timur Pulau Sumatera. Rusaknya habitat ekosistem pesisir seperti deforestasi hutan mangrove serta terjadinya degradasi sebagian besar terumbu karang dan padang lamun telah mengakibatkan erosi pantai dan berkurangnya keanekaragaman hayati (biodiversity). Erosi ini juga diperburuk oleh perencanaan tata ruang dan pengembangan wilayah yang kurang tepat. Beberapa kegiatan yang diduga sebagai penyebab terjadinya erosi pantai, antara lain pengambilan pasir laut untuk reklamasi pantai, pembangunan hotel, dan kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk memanfaatkan pantai dan perairannya.  Sementara itu, laju sedimentasi yang merusak perairan pesisir juga terus meningkat. Beberapa muara sungai di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa mengalami pendangkalan yang cepat, akibat tingginya laju sedimentasi yang disebabkan oleh kegiatan di lahan atas yang tidak dilakukan dengan benar, bahkan mengabaikan asas konservasi tanah. Di samping itu, tingkat pencemaran di beberapa kawasan pesisir dan laut juga berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan.  Sumber utama pencemaran pesisir dan laut terutama berasal dari darat, yaitu kegiatan industri, rumah tangga, dan pertanian.  Sumber pencemaran juga berasal dari berbagai kegiatan di laut, terutama dari kegiatan perhubungan laut dan kapal pengangkut minyak serta kegiatan pertambangan. Sementara praktik-praktik penangkapan ikan yang merusak dan ilegal (illegal fishing) serta penambangan terumbu karang masih terjadi dimana-mana yang memperparah kondisi habitat ekosistem pesisir dan laut.

Citra pertambangan yang merusak lingkungan. Sifat usaha pertambangan, khususnya tambang terbuka (open pit mining), selalu merubah bentang alam sehingga mempengaruhi ekosistem dan habitat aslinya. Dalam skala besar akan mengganggu keseimbangan fungsi lingkungan hidup dan berdampak buruk bagi kehidupan manusia. Dengan citra semacam ini usaha pertambangan cenderung ditolak masyarakat. Citra ini diperburuk oleh banyaknya pertambangan tanpa ijin (PETI) yang sangat merusak lingkungan.

Tingginya ancaman terhadap keanekaragaman hayati (biodiversity).Sampai saat ini 90 jenis flora dan 176 fauna di Pulau Sumatera terancam punah. Populasi orang-utan di Kalimantan menyusut tajam, dari 315.000 ekor di tahun 1900 menjadi 20.000 ekor di tahun 2002. Hutan bakau di Jawa dan Kalimantan menyusut tajam, disertai rusaknya berbagai ekosistem. Gambaran tersebut menempatkan Indonesia pada posisi kritis berdasarkan Red Data Book IUCN (International Union for the Conservation of Nature). Di sisi lain, pelestarian plasma nutfah asli Indonesia belum berjalan baik. Kerusakan ekosistem dan perburuan liar, yang dilatarbelakangi rendahnya kesadaran masyarakat, menjadi ancaman utama bagi keanekaragaman hayati di Indonesia.

Pencemaran air semakin meningkat. Penelitian di 20 sungai Jawa Barat pada tahun 2000 menunjukkan bahwa angka BOD (Biochemical Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand)nya melebihi ambang batas. Indikasi serupa terjadi pula di DAS Brantas, ditambah dengan tingginya kandungan amoniak. Limbah industri, pertanian, dan rumah tangga merupakan penyumbang terbesar dari pencemaran air tersebut. Kualitas air permukaan danau, situ, dan perairan umum lainnya juga menunjukkan kondisi yang memprihatinkan. Umumnya disebabkan karena tumbuhnya phitoplankton secara berlebihan (blooming) sehingga menyebabkan terjadinya timbunan senyawa phospat yang berlebihan. Matinya ikan di Danau Singkarak (1999), Danau Maninjau (2003) serta lenyapnya beberapa situ di Jabodetabek menunjukkan tingginya sedimentasi dan pencemaran air permukaan. Kondisi air tanah, khususnya di perkotaan, juga mengkhawatirkan karena terjadinya intrusi air laut dan banyak ditemukan bakteri Escherichia Coli dan logam berat yang melebihi ambang batas.

Kualitas udara, khususnya di kota-kota besar, semakin menurun.Kualitas udara di 10 kota besar Indonesia cukup mengkhawatirkan, dan di enam kota diantaranya, yaitu Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Jambi, dan Pekan Baru dalam satu tahun hanya dinikmati udara bersih selama 22 sampai 62 hari saja. Senyawa yang perlu mendapat perhatian serius adalah partikulat (PM10), karbon monoksida (CO), dan nitrogen oksida (NOx). Pencemaran udara utamanya disebabkan oleh gas buang kendaraan dan industri, kebakaran hutan, dan kurangnya tutupan hijau di perkotaan. Hal ini juga diperburuk oleh kualitas atmosfer global yang menurun karena rusaknya lapisan ozon di stratosfer akibat akumulasi senyawa kimia seperti chlorofluorocarbons (CFCs), halon, carbon tetrachloride, methyl bromide yang biasa digunakan sebagai refrigerantmesin penyejuk udara, lemari es, spray, dan foam. Senyawa-senyawa tersebut merupakan bahan perusak ozon (BPO) atau ODS (ozone depleting substances). Indonesia terikat Montreal Protocol dan Kyoto Protocol yang telah diratifikasi untuk ikut serta mengurangi penggunaan BPO tersebut, namun demikian sulit dilaksanakan karena bahan penggantinya masih langka dan harganya relatif mahal.
Selain permasalahan tersebut di atas, juga terdapat berbagai permasalahan lain yang pada akhirakhir ini justru sangat menonjol, termasuk masalah-masalah sebagai dampak dari bencana dan permasalahan lingkungan lainnya yang terjadi karena fenomena alam yang bersifat musiman.
B. Perkembangan Penduduk di Indonesia
Di Indonesia sendiri, angka pertumbuhan penduduk sangat besar setiap tahunnya. "Laju pertumbuhan penduduk saat ini 1,49 persen, harus diturunkan paling tidak 1,1 persen," kata kepala BKKBN Surya Chandra Surapaty seusai pertemuan dengan Presiden Jokowi di Istana Merdeka Jakarta, Selasa (29/9/2015). Ia menyebutkan dengan laju pertumbuhan seperti itu, maka setiap tahunnya penduduk Indonesia bertambah 4,5 juta orang. Jika hal ini terus dibiarkan, maka akan terjadi bonus demografi. Hal ini lah yang saat ini menjadi isu kekinian di bumi pertiwi.
Banyak sekali faktor yang diduga menjadi pemicu tingginya pertumbuhan penduduk di Indonesia. Dugaan tersebut didasarkan pada persepsi yang berkembang di masyarakat Indonesia. Persepsi ini sendiri sudah berkembang sejak lama di tengah masyarakat Indonesia. Persepsi ini berkembang atas dasar mitos yang mengatakan jika banyak anak, maka akan banyak rezeki.
Pemerintah pun terus berupaya menurunkan angka pertumbuhan penduduk. Melalui program - program yang dikeluarkan, pemerintah berharap dapat menyelesaikan permasalahan pertumbuhan penduduk. Salah satu program andalan yang dikeluarkan pemerintah saat ini adalah program KB.
Program KB sendiri sudah dikeluarkan oleh pemerintah sejak beberapa tahun yang lalu. Melalui berbagai cara, masyarakat terus diajak untuk melakukan program KB. Namun, masih banyak sekali masyarakat yang tidak memberi respon baik terhadap program ini. Hasilnya, angka pertumbuhan penduduk masih saja tinggi.
Jika isu ini tidak segera ditemukan cara yang efektif untuk mengatasinya, maka akan terjadi bonus demografi. Bonus demografi sendiri akan berdampak pada semua hal. Apalagi jika, SDM di Indonesia rendah. Hal ini akan menyebabkan terjadinya banyak pengangguran dan kemiskinan. Apakah Indonesia akan dapat mengatasi isu ini? Atau justru mengalami kebangkrutan seiring banyaknya permasalahan akibat bonus demografi? Semua akan terjawab seiring berjalannya waktu.
C.Ilmu Teknologi dan Pengetahuan di Indonesia
Di Indonesia berupaya mengatasi masalah-maslah dalam pengembangan IPTEK seperti akan diuraikan di bawah ini:

1.      Keterbatasan Sumber Daya Iptek
Masih terbatasnya sumber daya iptek tercermin dari rendahnya kualitas SDM dan kesenjangan pendidikan di bidang iptek. Rasio tenaga peneliti Indonesia pada tahun 2001 adalah 4,7 peneliti per 10.000 penduduk, jauh lebih kecil dibandingkan Jepang sebesar 70,7. Selain itu rasio anggaran iptek terhadap PDB sejak tahun 2000 mengalami penurunan, dari 0,052 persen menjadi 0,039 persen pada tahun 2002. Rasio tersebut jauh lebih kecil dibandingkan rasio serupa di ASEAN. Sementa. Kecilnya anggaran iptek berakibat pada terbatasnya fasilitas riset, kurangnya biaya untuk operasi dan pemeliharaan.
2.      Belum Berkembangnya Budaya Iptek
Budaya bangsa secara umum masih belum mencerminkan nilai-nilai iptek yang mempunyai penalaran obyektif, rasional, maju, unggul dan mandiri. Pola pikir masyarakat belum berkembang ke arah yang lebih suka mencipta daripada sekedar memakai, lebih suka membuat daripada sekedar membeli, serta lebih suka belajar dan berkreasi daripada sekedar menggunakan teknologi yang ada.
3.      Belum Optimalnya Mekanisme Intermediasi Iptek
Belum optimalnya mekanisme intermediasi iptek yang menjembatani interaksi antarakapasitas penyedia iptek dengan kebutuhan pengguna. Masalah ini dapat terlihat dari belum tertatanya infrastruktur iptek, seperti institusi yang mengolah dan menterjemahkan hasil pengembangan iptek menjadi preskripsi teknologi yang siap pakai untuk difungsikan dalam sistem produksi.
4.      Lemahnya Sinergi Kebijakan Iptek
Lemahnya sinergi kebijakan iptek, menyebabkan kegiatan iptek belum sanggupmemberikan hasil yang signifikan. Kebijakan bidang pendidikan, industri, dan iptek belumterintegrasi sehingga mengakibatkan kapasitas yang tidak termanfaatkan pada sisi 15 penyedia, tidak berjalannya sistem transaksi, dan belum tumbuhnya permintaan dari sistem pengguna yaitu industri. Disamping itu kebijakan fiskal juga dirasakan belum kondusif bagi pengembangan kemampuan iptek.
5.      Belum Terkaitnya Kegiatan Riset dengan Kebutuhan Nyata
Kegiatan penelitian yang tidak didorong oleh kebutuhan penelitian yang jelas dan eksplisit,menyebabkan lembaga-lembaga litbang tidak memiliki kewibawaan sebagai sebuah instansi yang memberi pijakan saintifik bagi kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah. Salah satu dampak langsung dengan adanya kegiatan riset yang tidak didasari oleh kebutuhan yang jelas adalah terjadinya inefisiensi yang luar biasa akibat duplikasi penelitian atau plagiarisme.
Dampak lainnya adalah merapuhnya budaya penelitian sebagai pondasi kelembagaanristek, seperti yang terjadi pada sektor pendidikan. Pendidikan di Indonesia dapat dikatakan telah gagal membudayakan rasa ingin tahu, budaya belajar dan apresiasi yang tinggi pada pencapaian ilmiah.
6.      Belum Maksimalnya Kelembagaan Litbang
Kelembagaan litbang yang belum dapat berfungsi secara maksimal, disebabkan karenamanajemen yang lemah. Seorang peneliti yang hebat belum tentu memiliki ketrampilan dan sikap manajerial yang dibutuhkan untuk memimpin sebuah lembaga litbang. Selain itu perkembangan manajemen penelitian dan pengembangan di Indonesia jauh tertinggal. Dari ratusan peneliti tangguh di tanah air, hanya sebagian kecil yang memiliki kemampuan memimpin lembaga litbang sebagai sebuah entitas manajemen. Kursus-kursus manajemen (proyek) penelitian dan pengembangan amat jarang dilakukan,dan kalaupun ada, ditawarkan oleh pihak asing dengan biaya kursus yang mahal.
7.      Masih Rendahnya Aktifitas Riset di Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi yang diharapkan menjadi sebuah pusat keunggulan (centre of excellence) juga belum berhasil mengarusutamakan penelitian dan pengembangan dalam Tri Dharma Perguruan Tingginya. Hal ini berakibat pada:
1)      Terjadi brain draining tenaga peneliti ke kegiatan-kegiatan non-penelitian
2)      Pengusangan bahan-bahan belajar
3)      Penurunan relevansi pendidikan dan layanan masyarakat
4)      Pendidikan pascasarjana, terutama tingkat Doktor (S-3) tidak berkembang
5)      Kekayaan intelektual PT tidak berkembang, dan
6)      Kelas kreatif dan kewirausahaan (enterpreneurships) tidak berkembang.

D.Pertambangan


Menurut jenis yang dihasilkan di Indonesia terdapat antara lain pertambangan minyak dan gas bumi; logam – logam mineral antara lain seperti timah putih, emas, nikel, tembaga, mangan, air raksa, besi, belerang, dan lain-lain serta bahan – bahan organik seperti batubara, batu-batu berharga seperti intan, dan lain- lain.


Pembangunan dan pengelolaan pertambangan perlu diserasikan dengan bidang energi dan bahan bakar serta dengan pengolahan wilayah, disertai dengan peningkatan pengawasan yang menyeluruh. Pengembangan dan pemanfaatan energi perlu secara bijaksana baik itu untuk keperluan ekspor maupun penggunaan sendiri di dalam negeri serta kemampuan penyediaan energi secara strategis dalam jangka panjang. Sebab minyak bumi sumber utama pemakaian energi yang penggunaannya terus meningkat, sedangkan jumlah persediaannya terbatas. Karena itu perlu adanya pengembangan sumber-sumber energi lainnya seperti batu bara, tenaga air, tenaga air, tenaga panas bumi, tenaga matahari, tenaga nuklir, dan sebagainya.
Pencemaran lingkungan sebagai akibat pengelolaan pertambangan umumnya disebabkan oleh faktor kimia, faktor fisik, faktor biologis. Pencemaran lingkungan ini biasanya lebih daripada diluar pertambangan. Keadaan tanah, air dan udara setempat di tambang mempunyai pengarhu yang timbal balik dengan lingkunganya. Sebagai contoh misalnya pencemaran lingkungan oleh gas karbonmonoksida (CO) sangat dipengaruhi oleh keanekaragaman udara, pencemaran oleh tekanan panas tergantung keadaan suhu, kelembaban dan aliran udara setempat.
Suatu pertambangan yang lokasinya jauh dari masyarakat atau daerah industri bila dilihat dari sudut pencemaran lingkungan lebih menguntungkan daripada bila berada dekat dengan permukiman masyarakat umum atau daerah industri. Selain itu jenis suatu tambang juga menentukan jenis dan bahaya yang bisa timbul pada lingkungan. Akibat pencemaran pertambangan batu bara akan berbeda dengan pencemaran pertambangan mangan atau pertambangan gas dan minyak bumi. Keracunan mangan akibat menghirup debu mangan akan menimbulkan gejala sukar tidur, nyeri dan kejang – kejang otot, ada gerakan tubuh diluar kesadaran, kadang-kadang ada gangguan bicara dan impotensi.
Melihat ruang lingkup pembangunan pertambangan yang sangat luas, yaitu mulai dari pemetaan, eksplorasi, eksploitasi sumber energi dan mineral serta penelitian deposit bahan galian, pengolahan hasil tambang dan mungkin sampai penggunaan bahan tambang yang mengakibatkan gangguan pad lingkungan, maka perlua adanya perhatian dan pengendalian terhadap bahaya pencemaran lingkungan dan perubahan keseimbangan ekosistem, agar sektor yang sangat vital untuk pembangunan ini dapat dipertahankan kelestariannya.
Dalam pertambangan dan pengolahan minyak bumi misalnya mulai eksplorasi, eksploitasi, produksi, pemurnian, pengolahan, pengangkutan, serta kemudian menjualnyatidak lepas dari bahaya seperti bahaya kebakaran, pengotoran terhadap lingkungan oleh bahan-bahan minyak yang mengakibatkan kerusakan flora dan fauna, pencemaran akibat penggunaan bahan-bahan kimia dan keluarnya gas-gas/ uap-uap ke udara pada proses pemurnian dan pengolahan.

E.Industri

,kendala dan permasalahan yang terjadi itu antara lain adalah sebagai berikut:
1. Konsentrasi Industri Secara Geografis
Industri Indonesia terkonsentrasi secara geografis ke Kabarin (Kawasan Barat Indonesia),
 yaitu Jawa dan Sumatra.
Pembangunan industri dan aktivitas bisnis Indonesia selama lebih dari tiga dasawarsa terakhir
 cenderung bias ke pulau Jawa dan Sumatra. Industri manufaktur Indonesia cenderung terkonsentrasi
secara spasial di Jawa sejak tahun 1970-an (Aziz, 1994, Hill, 1990).
dengan kondisi ini,daerah-daerah lain seakan-akan menjadi daerah yang di anak tirikan,padahal di indonesia memiliki 5 pulau besar yang ke semuanya memiliki potensi untuk di jadikan sebagai kawasan industri.
Tidak meratanya pembangunan industri di indonesia menyebabkan dampak sentralisasi yang juga akan menyebabkan kepadatan penduduk di suatu daerah.
2.Tingginya impor di indonesia
Hampir semua industri Indonesia memiliki kandungan impor (import content) bahan baku dan bahan setengah jadi
 yang relatif tinggi. Import content industri padat modal lebih tinggi daripada industri padat karya.
Tingginya kandungan impor bahan baku, bahan antara, dan komponen untuk seluruh industri,
 yang berkisar antara 28-30 persen antara tahun 1993-2002.
Inilah yang barangkali menjelaskan mengapa melemahnya nilai rupiah terhadap dolar
tidak langsung menyebabkan kenaikan ekspor secara signifikan.
Relatif tingginya kandungan impor bahan baku dan penolong mencerminkan bahwa upaya peningkatan pendalaman industri masih perlu digalakkan. Dengan kata lain, industri pendukung dan terkait, khususnya industri komponen dan hulu, masih belum kokoh dalam menopang struktur industri Indonesia.
Implikasinya, strategi substitusi impor untuk industri andalan Indonesia agaknya perlu diprioritaskan.
Sebenarnya pihak pemerintah dalam hal ini sudah melakukan berbagai macam cara,di antaranya yaitu dengan melaksanakan program padat karya,ataupun berbagai program yang di lakukan oleh pemerintah,yaitu dinas koperasi dan UKM.
berbagai macam cara ini tiada lain adalah untuk meningkatkan daya saing produk dalan negeri.
semoga usaha yang di lakukan pihak pemerintah ini dapat di imbangi oleh pelaku-pelaku industri,ga cuma hisapan jempol belaka.amin....

3. Dualisme Industri
Dualisme industri Indonesia terus berlanjut: Industri kecil mendominasi dari sisi unit usaha (99%) dan penyerapan tenaga kerja (60%), namun menyumbang hanya 22% terhadap nilai tambah. Sebaliknya industri besar dan menengah,yang jumlah unit usahanya hanya kurang dari 1%, menyerap tenaga kerja 40% dan menyumbang nilai tambah 78%.Sementara itu, kontribusi UKM thd PDB sebesar 54-57%, sedang UB sekitar 42-46% selama tahun 2002-2005.

4.Belum Membaiknya Iklim Investasi
Iklim investasi di Indonesia masih memiliki banyak kendala.
Selama 2003 hingga 2006, kendala terbesar bagi para pelaku bisnis adalah ketidakstabilan kondisi ekonomi makro
dan ketidakpastian kebijakan ekonomi cenderung menurun.
Artinya, pelaku bisnis melihat adanya perbaikan lingkungan makro dan kebijakan ekonomi.
Namun, kendala lain yang cenderung memburuk adalah infrastruktur (transportasi dan listrik),
tenaga kerja (regulasi ketenagakerjaan nasional maupun daerah, keterampilan dan pendidikan pekerja).
Kendala yang cenderung membaik di mata pelaku bisnis adalah kebijakan perdagangan dan bea cukai,
 akses terhadap modal, keamanan, perizinan baik nasional maupun lokal, biaya modal,
 tarif dan administrasi pajak, konflik dan sistem hukum, dan korupsi pada skala lokal maupun nasional.

5.Ekonomi Biaya Tinggi
Berbagai pungutan, baik resmi maupun liar,
yang harus dibayar perusahaan kepada para petugas, pejabat, dan preman masih berlanjut.
Berdasarkan survei di Batam, Jabotabek, Bandung-Cimahi, Jepara-Pati, Surabaya-Sidoarjo,
Denpasar, Kuncoro et al. (2004) menunjukkan masih adanya uang pelicin (grease money) dalam bentuk pungli,upeti dan biaya ekstra yang harus dikeluarkan oleh perusahaan dari sejak mencari bahan baku,
 memproses input menjadi output, maupun melakukan ekspor.
Lebih dari separuh responden berpendapat bahwa pungli, perijinan oleh pemerintah pusat dan daerah,
 kenaikan tarif (BBM, listrik, dll.)
 merupakan kendala utama yang dihadapi para pengusaha, terutama yang berorientasi ekspor.
 Rata-rata persentase pungli terhadap biaya ekspor setahun adalah 7,5%,yang setara dengan total Rp 3 trilyun atau sekitar $153 juta (Kuncoro, 2006).Lokasi yang dituding rawan terhadap pungli terutama jalan raya dan pelabuhan.Dengan dalih untuk meningkatkan pendapatan daerah (PAD), pemerintah daerah menerapkan beberapa pungutan, pajak, sumbangan sukarela dan pembatasan-pembatasan yang ditujukan kepada investor dan kegiatan bisnis. Usaha tersebut ternyata mengakibatkan distorsi perdagangan dan tidak sesuai dengan UU No. 34/2000.Situasi saat ini menyebabkan lebih banyak kekhawatiran, khususnya di kalangan investor domestik dan asing, Pemerintah Daerah bersikeras akan hak atas kepemilikan saham pelabuhan dan pajak dari perusahaan asing yang beroperasi di daerah mereka, khususnya perusahaan-perusahaan pertambangan. Fanatisme sektoral mulai bergeser menjadi fanatisme daerah yang overdosis.
jika hal ini tidak di atasi dan bahkan membudaya,maka bukan tidak mungkin bahwa investor akan melirik negara lain untuk berinvestasi,seperti thailand dan filipina,bahkan malaysia.

0 komentar:

Posting Komentar